Penentuan Awal Ramadhan 2025 (1446 H): Perspektif Sains berdasarkan Kajian Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa serta Etnosains

Surabaya, 28 Februari 2025
– Penentuan awal Ramadhan, sebagai bagian penting dari kalender Islam,
sering kali menjadi perdebatan, baik dari segi agama maupun ilmiah. Salah satu
pendekatan yang semakin mendapat perhatian adalah kajian sains dalam menentukan
awal bulan Ramadhan, khususnya melalui ilmu pengetahuan bumi dan antariksa,
serta kajian etnosains. Kajian ini dilakukan oleh Program Studi S3 Pendidikan
Sains FMIPA Universitas Negeri Surabaya (Unesa), yang berfokus pada
pengembangan pemahaman sains dalam konteks budaya dan agama.
Awal Ramadhan biasanya ditentukan
berdasarkan penampakan hilal (bulan sabit pertama) setelah terbenam matahari,
yang menandakan dimulainya bulan baru dalam kalender Hijriyah. Namun,
pengamatan hilal ini seringkali berbeda-beda tergantung pada lokasi pengamatan,
cuaca, dan metode yang digunakan. Di Indonesia, penentuan awal Ramadhan sering
kali melibatkan dua pendekatan: hisab (perhitungan astronomis) dan rukyah
(pengamatan langsung).
Menurut Beni Setiawan, Ph.D., dosen
dan peneliti di Program Studi S3 Pendidikan Sains FMIPA Unesa, kajian sains
memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai
fenomena ini. "Ilmu pengetahuan bumi dan antariksa memungkinkan kita untuk
memahami posisi bulan dan matahari dalam kaitannya dengan fenomena hilal.
Perhitungan astronomis ini memberikan gambaran yang lebih akurat tentang kapan
hilal bisa terlihat, dengan memperhitungkan berbagai faktor seperti posisi
geografi dan waktu," ujar Beni Setiawan, Ph.D..
Ilmu pengetahuan bumi dan
antariksa memainkan peran kunci dalam penentuan awal Ramadhan melalui analisis
astronomis. Dengan teknologi canggih, seperti teleskop dan perangkat lunak
astronomi, para ilmuwan dapat memprediksi posisi bulan dengan lebih presisi.
Perhitungan hisab memungkinkan kita untuk menentukan kapan hilal akan muncul,
meskipun terkadang faktor cuaca atau keterbatasan pengamatan di beberapa daerah
dapat mempengaruhi hasil pengamatan langsung.
Di sisi lain, kajian etnosains di
Program Studi S3 Pendidikan Sains FMIPA Unesa menekankan pentingnya memahami
penentuan awal Ramadhan melalui perspektif budaya dan tradisi masyarakat.
Etnosains adalah cabang ilmu yang mengkaji bagaimana pengetahuan ilmiah
dipraktikkan dalam budaya dan tradisi lokal. Dalam konteks ini, etnosains
membantu menjembatani pemahaman antara ilmu pengetahuan modern dan cara-cara
tradisional dalam menentukan awal Ramadhan.
"Beberapa komunitas di
Indonesia memiliki tradisi tersendiri dalam mengawali bulan Ramadhan, yang
mungkin tidak selalu selaras dengan perhitungan ilmiah. Kajian etnosains
memungkinkan kita untuk memahami nilai-nilai budaya di balik tradisi tersebut,
serta bagaimana masyarakat lokal memaknai fenomena alam," tambah Beni
Setiawan, Ph.D..
Kajian sains yang melibatkan ilmu
pengetahuan bumi dan antariksa serta etnosains ini juga mendukung integrasi
sains dan agama, memberikan wawasan yang lebih holistik tentang penentuan awal
Ramadhan. Melalui pemahaman yang berbasis sains, masyarakat dapat membuat
keputusan yang lebih tepat dan informatif mengenai awal bulan Ramadhan, sambil
tetap menghormati tradisi dan kepercayaan yang sudah ada.
Di Unesa, riset ini diharapkan
tidak hanya memberikan kontribusi ilmiah, tetapi juga mendorong dialog antara
sains, agama, dan budaya. Hal ini penting untuk menciptakan pemahaman yang
lebih baik mengenai penentuan waktu-waktu penting dalam kalender Islam, serta
memperkaya kajian pendidikan sains di Indonesia.
Penentuan awal Ramadhan bukan
hanya soal pengamatan astronomis atau perhitungan matematis, tetapi juga
merupakan perpaduan antara ilmu pengetahuan dan tradisi budaya. Kajian yang
dilakukan oleh Program Studi S3 Pendidikan Sains FMIPA Unesa ini menunjukkan
bahwa pemahaman sains, terutama ilmu pengetahuan bumi dan antariksa serta
etnosains, dapat menjadi jembatan untuk memahami fenomena tersebut secara lebih
mendalam. Seiring dengan kemajuan teknologi dan pemahaman ilmiah, diharapkan
penentuan awal Ramadhan dapat lebih presisi, sekaligus menghargai nilai-nilai
budaya yang ada.